Postingan

“Jangan Pernah Melupakan Aku” di Kota Bogor

Gambar
Tugu Lady Raffles (Lady Raffles Monument) di KRB  --Foto: Irwan Lalegit  Dianugerahi pemandangan alam nan asri dengan pepohonan yang rindang berjuta jenis, udara yang sejuk, lembut dan bersih, tentu menjadikan Bogor sebagai kota yang nyaman untuk jadi tempat tinggal. Ya Kota Bogor, inilah kota yang dibangun selama lima abad lebih diatas bentang alam bumi Parahyangan yang elok dan subur. Karena itu, ia yang juga dijuluki sebagai ‘kota Hujan, kota Petir, kota Kujang’ tentu menyimpan berlaksa-laksa kenangan cinta kasih abadi bagi siapapun yang pernah mengunjungi atau pun pernah menjadi bagian dari ritmenya. Bahwa ada banyak catatan, tugu, prasati, peninggalan sejarah, bahkan lambang kehidupan dan cinta kasih bernilai tinggi di kota ini yang sangat sayang untuk tidak diceritakan, termasuk monumen “Jangan Pernah Melupakan Aku” yang (mungkin akan) tertanam abadi disana. Sudah tentu bagi yang pernah bertamasya di kota Bogor, jelas mengenal salah satu tempat yang menjadi ikonnya :

MERDEKA!, Sebagai Salam Nasional dan Pekik Perjuangan Kita

Gambar
Penetapan pekik MERDEKA! sebagai "Salam Nasional" dan "Pekik Perjuangan" Bangsa Indonesia itu diputuskan melalui Maklumat Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 1945, dan secara resmi berlaku sejak 1 September 1945. Di dalam Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 itu dijelaskan tentang tata-cara pengucapan salam nasional MERDEKA! Namun, untuk lebih jelasnya, Anda juga bisa memperagakan salam nasional ini, sebagai berik ut: “………. Tangan kanan (lima jari dirapatkan terbuka keatas) naik setinggi telinga # LimaJari  rapat terbuka, apakah artinya itu? Negara kita telah bersatu dan MERDEKA # Lalu  teriakkan suaramu "mengguntur" mengucapkan salam nasional kita: MERDEKA! Artinya, kita siap sedia mempertahankannya walau dengan jalan yang (perngorbanan jiwa dan raga) bagaimanapun juga, MERDEKA! ……….” Adalah Bung Karno, Soekarno, Ir. Soekarno, Presiden pertama kita yang membumikan pekik MERDEKA ini. Bung Karno menjadikannya sebagai senjata untuk menggembleng r

Mengenang Jean Henry Dunant

Gambar
Jean Henry Dunant, Pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Foto: Istimewa) Andai tak pernah ada pertempuran mengerikan di Solferino tanggal 24 Juni 1859 dan buku "Un Souvenir de Solferino" atau “a Memory of Solferino atau “Kenangan dari Solferino”, tentu catatan sejarah bantuan kemanusiaan modern dan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia "Palang Merah dan Bulan Sabit Merah" mungkin akan berkata lain. Ya di Solferino, sebuah pedesaan (waktu itu) di Italia bagian utara, gabungan balatentara Perancis dan Sardinia bertempur melawan pasukan Austria. Pada petang harinya, hampir 40.000 prajurit tergeletak tewas atau terluka tanpa perawatan. Dinas kesehatan militer kedua pihak pun kewalahan dan mereka tak punya perlindungan khusus. Jean Henry Dunant, seorang pengusaha dan warga negara Swiss, tiba di Solferino pada malam tanggal 24 Juni 1859 disaat pertempuran dahsyat itu telah terjadi. Melihat puluhan ribu tentara mati dan terluk

Mengejar Lumba-lumba di Teluk Kiluan

Gambar
"Jukung", perahu bercadik yang kami naiki selama di teluk Kiluan (Foto: Bung Zamhar)  “Teluk Kiluan”, mendengar nama teluk yang indah di Lampung bagian selatan ini, pikiran kita pasti langsung tertuju kepada Lumba-lumba. Ya, sejak 2004, ia mulai dikenal sebagai salah satu destinasi wisata andalannya provinsi Lampung. Kiluan memang menawarkan wisata yang khas yaitu “mengejar lumba-lumba” dengan perahu nelayan tradisional “Jukung”, berbentuk ramping, panjang dan bermesin tempel kecil. Adalah kami, para Advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dari Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, tanggal 15 hingga 17 Januari 2016 kemarin, mengunjungi Kiluan dan menikmati serunya mengejar lumba-lumba disana. Perjalanan pun semakin menarik karena, dari Jakarta hingga desa Pekon Kilauan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tenggamus, tempat dimana teluk Kiluan itu berada, luapan canda tawa mengalir seiring benak tanda-tanya di masing-masing

Impian (Menjadi) Negara Maritim

Gambar
Impian (Menjadi) Negara Maritim Foto Nelayan Tradisional di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Irwan Lalegit) “…Tiba-tiba ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh, Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana, Tiga malam bulan tlah menghilang, Langit sepi walau tak bermega…” Penggalan lirik lagu “Burung Camar” yang dipopulerkan Vina Panduwinata (diva pop musik) diatas mengambarkan betapa kerasnya kehidupan nelayan Indonesia, dan menyadarkan kita bahwa laut Indonesia yang maha luas dan kaya potensi itu, tentu menjadi tantangan terberat bagi para nelayan yang selama ini (tujuh puluh tahun merdeka) terus dibiarkan kalah bersaing dengan nelayan negara tetangga di kawasan ASEAN-Pasifik dalam penguasaan laut, pengelolaan kekayaan sektor kelautan dan perikanan. Berlawanan dengan nelayan kita yang kebanyakan mungkin nasibnya miskin dan tradisional, mereka (nelayan negara tetangga) dilengkapi armada tangkap ikan terbaik, sarana-prasarana pendukung yang berkualitas minim korupsi, kemu

Jiwa Kerelawanan dan Makna "The Good Samaritan Law" dalam Film Love Story in Harvard

Gambar
Sampul film Love Story in Harvard (Foto: Istimewa) Saya ingat di tahun 2004-2007, ketika masih bergelut dengan segudang aktivitas mahasiswa di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Sam Ratulangi seperti baca buku, menulis, diskusi, seminar, demonstrasi, kaderisasi, juga seringnya menonton film-film: dokumenter, serial dan drama, terutama bertema petualangan alam bebas, sejarah, biografi, cinta dan hukum. Saat itu (bersama kawan-kawan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa), ada salah satu film drama Korea bergenre hukum yang paling sering kami tonton: “Love Story in Harvard”. Bagi saya, Love Story in Harvard, yang bersetting di salah satu kampus  Ivy League  terbaik di dunia: Harvard University, Cambridge, Massachusetts ini, setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu referensi ringan bagi mahasiswa (hukum) untuk memperdalam strategi beracara pada persidangan di peradilan pidana, sekaligus pelajaran berharga tentang bagaimana strategi belajar mahasiswa di perguruan

Syawat Lemah KUHP Menghukum Peselingkuh dan Kisah Pompeii, Kota Perzinahan yang Dikutuk Surga

Gambar
(Foto: "Garden of the Fugitives" di  https:www.//en.wikipedia.org/wiki/Pompeii) Adalah “Perzinahan, dari kata  Zina  زني –Arab” atau Perselingkuhan, dia jadi kata terseksi dalam peradaban manusia. Muncul seiring kehadiran manusia di muka bumi ini, sehingga agama-agama jauh-jauh hari mengaturnya menjadi pasal larangan agar ditaati umat. Di masyarakat beradab, begitu pun di negara-negara yang membiarkan tumbuh kembang sekulerisme dan hedonisme, normanya tetap memandang negatif perzinahan, sehingga para penjunjungnya harus diganjar sanksi susila. Tetapi, meski selalu menduduki peringkat atas perbincangan ruang kalbu masyarakat komunal dan transenden, realitas hidupnya sungguh berkata lain. Bahwa kita tak perlu menonton film sinetron, telenovela, infotaimen di televisi atau melihat buku, drama, sandiwara sebagai karya fiksi tentang perzinahan, karena dalam laku nyata pun bisa kita temukan sehari-hari, bahkan ada pendapat yang bilang “selingkuh itu indah”. Ya, Persel