Syawat Lemah KUHP Menghukum Peselingkuh dan Kisah Pompeii, Kota Perzinahan yang Dikutuk Surga

(Foto: "Garden of the Fugitives" di https:www.//en.wikipedia.org/wiki/Pompeii)

Adalah “Perzinahan, dari kata Zina زني –Arab” atau Perselingkuhan, dia jadi kata terseksi dalam peradaban manusia. Muncul seiring kehadiran manusia di muka bumi ini, sehingga agama-agama jauh-jauh hari mengaturnya menjadi pasal larangan agar ditaati umat. Di masyarakat beradab, begitu pun di negara-negara yang membiarkan tumbuh kembang sekulerisme dan hedonisme, normanya tetap memandang negatif perzinahan, sehingga para penjunjungnya harus diganjar sanksi susila.
Tetapi, meski selalu menduduki peringkat atas perbincangan ruang kalbu masyarakat komunal dan transenden, realitas hidupnya sungguh berkata lain. Bahwa kita tak perlu menonton film sinetron, telenovela, infotaimen di televisi atau melihat buku, drama, sandiwara sebagai karya fiksi tentang perzinahan, karena dalam laku nyata pun bisa kita temukan sehari-hari, bahkan ada pendapat yang bilang “selingkuh itu indah”.
Ya, Perselingkuhan atau Main Serong dalam biduk rumah tangga kini seperti menjadi trend modernitas. Hukum kita menyebutnya sebagai tindak pidana  (delik) perzinahan bagi yang terikat perkawinan dengan melakukan persetubuhan “Mukah dan Gendak -KBBI” atau “Overspel –Belanda”, dengan orang yang bukan pasangan sahnya meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka (volunteer). Karenanya, sebagai kejahatan terhadap kesetiaan perkawinan, mereka diancam sembilan bulan kurungan oleh Pasal 284 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Meski vonis sembilan bulan penjara menanti, tak berarti kasus jenis ini selalu tergelar di depan meja hakim. Justru perjalanan panjang nan berliku dan pesimistisnya korban mencari keadilan di laman penegak hukum, menjadikannya tak mudah menjerat para pelaku (peselingkuh). Sebab, sebagai delik aduan yang absolut (absolute klachtdelicten), para peselingkuh tidak dapat dijerat pidana apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang diselingkuhi. Jadi, harus ada salah satu dari pasangan suami-isteri itu yang merasa dirugikan lalu membuat pengaduan ke polisi (voorwarde van vervolgbaasheid).
Disisi inilah yang menarik untuk di bincangkan, karena mekipun dilaporkan, para peselingkuh justru tidak dapat dikenakan tindakan “penahanan” di kepolisian. Selain itu, ringannya ancaman hukuman, saksi-saksi yang gampang mencabut kesaksiannya, serta sulitnya beban pembuktian di unsur kesengajaan (opzettleijk delict) dan unsur persetubuhan (vleeslijk gemeenschap) akan berdampak balik bagi korban sebagai pencemar nama baik, juga proses sosial dan tekanan batin (psikologis) yang dialami korban sudah pasti akan mematahkan semangatnya. Seolah-olah sanksi bagi para pelaku yang diatur dalam hukum pidana positif kita tak memberi efek jera untuk mencegah terjadinya delik perzinahan. Justru kelemahan dari aturan perzinahan sangat memberi peluang, kesempatan kepada laki-laki atau perempuan yang telah kawin untuk serius berzinah, semangat berselingkuh dalam berbagai bentuk dan variasinya.
Alhasil, lebih banyak para korban menyalahkan polisi karena seolah-olah tidak merespon laporannya, selanjutnya mereka terus pesimis dengan proses pencarian keadilan di persidangan. Ini menambah panjang daftar akibat perselingkuhan yang menyebabkan tingginya angka kasus perceraian. Bahkan seolah-olah, animo perselingkuhan adalah alasan paling kuat untuk dan agar dapat memutus tali suci pernikahan (inbreuk op deheilige band van het huwelijk).
Karena itulah, jika dengan bermasyarakat sepakat memutus mata rantai perselingkuhan, maka keberadaan aturan anti perselingkuhan haruslah relevan dan ideal sebagai jaminan tegaknya ketentraman dalam kehidupan berkeluarga. Karena di KUHP, yang masih menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme, memang sudah tidak mampu lagi mencerminkan dan mengakomodir kepentingan korban, sehingga tentunya menjadi bahan perenungan dan kajian bagi kita semua untuk segera melakukan pembaruan KUHP.
Jelas sudah fakta bahwa KUHP kita yang “out of date” itu telah menyebabkan benturan kepentingan dan nilai sosial masyarakat yang agamis dan komunal untuk memperbaiki perilaku hidup peselingkuh yang menyimpang itu. Sehingga ada benarnya ketika banyak orang mengatakan “Syawat” KUHP memang lemah menghukum peselingkuh, maka respon masyarakat pun kadang dengan menciptakan kejahatan balas dendam berupa pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri kepada peselingkuh.
Dan, oya POMPEII, kota megah di zaman kekaisaran Romawi Oktavianus (27 SM-14 M) di wilayah Campania, Italia tengah itu, hancur lebur dihantam letusan dahsyat Gunung Api Vesuvius (Gunung Kemalangan) pada tahun 79 M. Adalah Robert Harris, mantan wartawan BBC TV, dialah yang menulis novel fiksi Pompeii ini menjadi nomor satu “International Bestseller”. Novel yang telah dibuatkan versi filmnya ini mengurai tentang suasana kotanya, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan karakter orang-orang yang terlibat.
Pompeii digambarkan sebagai kota pengunungan yang kaya sumber daya alam, yang tentu jadi tujuan wisata kelas atas warga Romawi. Penduduknya digambarkan sangat makmur, namun sungguh sangat disayangkan, mereka lupa bersyukur kepada “Surga” atas kemakmurannya, dan justeru berperilaku menyimpang dengan berkubang dalam lumpur kemaksiatan, mereka hidup dengan perzinahan. Tapi, mata “Surga” melihatnya, kaum agamis mengurai kisahnya senasib dengan Sodom dan Gomorrah (Sadum & Amurah), dua kota yang mendapatkan Azab ‘Kutukan Surga’ karena perilaku menyimpang warganya. Dan, Pompeii, musnah terkubur 16 abad.
Demikianlah Pompeii, kota perzinahan. Dia menjadi kisah kemanusiaan usai kitab-kitab suci diturunkan, untuk kita mengingat “Surga”, tempat muara kehidupan setelah berpetualang di dunia dualisme ini. Bagaimana menurut Teman?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Jangan Pernah Melupakan Aku” di Kota Bogor

MERDEKA!, Sebagai Salam Nasional dan Pekik Perjuangan Kita

Mengenang Jean Henry Dunant