HUKUM
Syawat Lemah
KUHP Menghukum Peselingkuh dan Kisah Pompeii -Kota Perzinahan yang Dikutuk
Surga
Adalah “Perzinahan, dari kata Zina
زني –Arab” atau Perselingkuhan, dia jadi kata terseksi dalam peradaban manusia.
Muncul seiring kehadiran manusia di muka bumi ini, sehingga agama-agama
jauh-jauh hari mengaturnya menjadi pasal larangan agar ditaati umat. Di
masyarakat beradab, begitu pun di negara-negara yang membiarkan tumbuh kembang
sekulerisme dan hedonisme, normanya tetap memandang negatif perzinahan, sehingga
para penjunjungnya harus diganjar sanksi susila.
Tetapi, meski selalu menduduki
peringkat atas perbincangan ruang kalbu masyarakat komunal dan transenden,
realitas hidupnya sungguh berkata lain. Bahwa kita tak perlu menonton film
sinetron, telenovela, infotaimen di televisi atau melihat buku, drama,
sandiwara sebagai karya fiksi tentang perzinahan, karena dalam laku nyata pun
bisa kita temukan sehari-hari, bahkan ada pendapat yang bilang “selingkuh itu
indah”.
Ya, Perselingkuhan atau Main Serong
dalam biduk rumah tangga kini seperti menjadi trend modernitas. Hukum kita
menyebutnya sebagai tindak pidana (delik) perzinahan bagi yang terikat
perkawinan dengan melakukan persetubuhan “Mukah dan Gendak -KBBI”
atau “Overspel –Belanda”, dengan orang yang bukan pasangan sahnya
meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka (volunteer). Karenanya, sebagai
kejahatan terhadap kesetiaan perkawinan, mereka diancam sembilan bulan kurungan
oleh Pasal 284 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Meski vonis sembilan bulan penjara
menanti, tak berarti kasus jenis ini selalu tergelar di depan meja hakim.
Justru perjalanan panjang nan berliku dan pesimistisnya korban mencari keadilan
di laman penegak hukum, menjadikannya tak mudah menjerat para pelaku
(peselingkuh). Sebab, sebagai delik aduan yang absolut (absolute
klachtdelicten), para peselingkuh tidak dapat dijerat pidana apabila tidak
ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang diselingkuhi. Jadi, harus ada
salah satu dari pasangan suami-isteri itu yang merasa dirugikan lalu membuat
pengaduan ke polisi (voorwarde van vervolgbaasheid).
Disisi inilah yang menarik untuk di
bincangkan, karena mekipun dilaporkan, para peselingkuh justru tidak dapat
dikenakan tindakan “penahanan” di kepolisian. Selain itu, ringannya ancaman
hukuman, saksi-saksi yang gampang mencabut kesaksiannya, serta sulitnya beban
pembuktian di unsur kesengajaan (opzettleijk delict) dan unsur
persetubuhan (vleeslijk gemeenschap) akan berdampak balik bagi korban
sebagai pencemar nama baik, juga proses sosial dan tekanan batin (psikologis)
yang dialami korban sudah pasti akan mematahkan semangatnya. Seolah-olah sanksi
bagi para pelaku yang diatur dalam hukum pidana positif kita tak memberi efek
jera untuk mencegah terjadinya delik perzinahan. Justru kelemahan dari aturan
perzinahan sangat memberi peluang, kesempatan kepada laki-laki atau perempuan
yang telah kawin untuk serius berzinah, semangat berselingkuh dalam berbagai
bentuk dan variasinya.
Alhasil, lebih banyak para korban
menyalahkan polisi karena seolah-olah tidak merespon laporannya, selanjutnya
mereka terus pesimis dengan proses pencarian keadilan di persidangan. Ini
menambah panjang daftar akibat perselingkuhan yang menyebabkan tingginya angka
kasus perceraian. Bahkan seolah-olah, animo perselingkuhan adalah alasan paling
kuat untuk dan agar dapat memutus tali suci pernikahan (inbreuk op
de heilige band van het huwelijk).
Karena itulah, jika dengan
bermasyarakat sepakat memutus mata rantai perselingkuhan, maka keberadaan
aturan anti perselingkuhan haruslah relevan dan ideal sebagai jaminan tegaknya
ketentraman dalam kehidupan berkeluarga. Karena di KUHP, yang masih menonjolkan
aliran individualisme dan liberalisme, memang sudah tidak mampu lagi
mencerminkan dan mengakomodir kepentingan korban, sehingga tentunya menjadi
bahan perenungan dan kajian bagi kita semua untuk segera melakukan pembaruan
KUHP.
Jelas sudah fakta bahwa KUHP kita
yang “out of date” itu telah menyebabkan benturan kepentingan dan nilai sosial
masyarakat yang agamis dan komunal untuk memperbaiki perilaku hidup peselingkuh
yang menyimpang itu. Sehingga ada benarnya ketika banyak orang mengatakan
“Syawat” KUHP memang lemah menghukum peselingkuh, maka respon masyarakat pun
kadang dengan menciptakan kejahatan balas dendam berupa pembunuhan, penganiayaan,
atau main hakim sendiri kepada peselingkuh.
Dan, oya POMPEII, kota megah di
zaman kekaisaran Romawi Oktavianus (27 SM-14 M) di wilayah Campania,
Italia tengah itu, hancur lebur dihantam letusan dahsyat Gunung Api Vesuvius
(Gunung Kemalangan) pada tahun 79 M. Adalah Robert Harris, mantan wartawan BBC
TV, dialah yang menulis novel fiksi Pompeii ini menjadi nomor satu
“International Bestseller”. Novel yang telah dibuatkan versi filmnya ini
mengurai tentang suasana kotanya, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan karakter
orang-orang yang terlibat.
Pompeii digambarkan sebagai kota
pengunungan yang kaya sumber daya alam, yang tentu jadi tujuan wisata kelas
atas warga Romawi. Penduduknya digambarkan sangat makmur, namun sungguh sangat
disayangkan, mereka lupa bersyukur kepada “Surga” atas kemakmurannya, dan
justeru berperilaku menyimpang dengan berkubang dalam lumpur kemaksiatan,
mereka hidup dengan perzinahan. Tapi, mata “Surga” melihatnya, kaum agamis
mengurai kisahnya senasib dengan Sodom dan Gomorrah (Sadum & Amurah), dua
kota yang mendapatkan Azab ‘Kutukan Surga’ karena perilaku menyimpang warganya.
Dan, Pompeii, musnah terkubur 16 abad.
Demikianlah Pompeii, kota
perzinahan. Dia menjadi kisah kemanusiaan usai kitab-kitab suci diturunkan,
untuk kita mengingat “Surga”, tempat muara kehidupan setelah berpetualang di
dunia dualisme ini. Bagaimana menurut Teman?
Komentar
Posting Komentar