Jiwa Kerelawanan dan Makna "The Good Samaritan Law" dalam Film Love Story in Harvard
Sampul film Love Story in Harvard (Foto: Istimewa) |
Saya ingat di tahun 2004-2007, ketika masih bergelut dengan segudang aktivitas mahasiswa di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Sam Ratulangi seperti baca buku, menulis, diskusi, seminar, demonstrasi, kaderisasi, juga seringnya menonton film-film: dokumenter, serial dan drama, terutama bertema petualangan alam bebas, sejarah, biografi, cinta dan hukum. Saat itu (bersama kawan-kawan dari Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Diskusi Ilmiah Mahasiswa), ada salah satu film drama Korea bergenre hukum yang paling sering kami tonton: “Love Story in Harvard”. Bagi saya, Love Story in Harvard, yang bersetting di salah satu kampus Ivy League terbaik di dunia: Harvard University, Cambridge, Massachusetts ini, setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu referensi ringan bagi mahasiswa (hukum) untuk memperdalam strategi beracara pada persidangan di peradilan pidana, sekaligus pelajaran berharga tentang bagaimana strategi belajar mahasiswa di perguruan tinggi dan perjuangan untuk lulus darinya.
Memang, meskipun judul film ini tentang kisah cinta, tetapi lika-liku cinta bukanlah menjadi suguhan utama karena yang terpenting dari film ini justru berkisar tentang perjuangan kemanusiaan, kebenaran dan keadilan dari dua tokoh utama (Soo In Lee dan Kim Hyun Woo) yang dibagun di dalam skenario. Tentu kesan saya atas Love Story in Harvard ini sangat Impresif--Mengharukan!
Hukum dan Kedokteran
Salah satu kisah yang diangkat adalah sisi kemanusiaan Soo In Lee (mahasiswi Harvard Medical School) yang sejak kecil sudah tinggal di Amerika dengan ayahnya. Meski dari keluarga miskin, Soo In adalah gadis dengan pendirian yang kuat, cerdas, pekerja keras dan baik hati ini masih menggunakan waktunya untuk kuliah sambil bekerja sambilan, dan yang paling menginspirasi saya adalah, Soo In masih sempat melakukan aksi sosial, menjadi relawan (Volunteer) dengan merawat penderita AIDS. Suatu ketika dia terancam dikeluarkan dari Fakultas Kedokteran Harvard karena gagal melakukan pertolongan pada orang yang tersedak di tempat dia bekerja paruh waktu dan mengakibatkan orang itu lumpuh. Dia digugat karena tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis dan harus menghadapi sidang majelis akademik (komisi disiplin) Universitas Harvard untuk mendapatkan sanksi pemecatan atas tuduhan melakukan praktik ‘tracheotomy’ di luar izin dan pengawasan, bertindak medis (layaknya dokter) tanpa adanya surat tugas (medical license).
Sungguh, nasib baik berpihak kepada Soo In Lee karena Kim Hyun Woo (kekasihnya yang mahasiswa Harvard Law School) dengan penuh perjuangan berhasil membelanya dengan menyebutkan hukum yang dikenal sebagai “The Good Samaritan Law” (Hukum Orang Samaritan yang baik).
Menurut hukum ini, tindakan medis yang Soo In lakukan dengan dasar kemanusiaan sangat dibenarkan, artinya jika seseorang berada di suatu kondisi genting dan mampu melakukan pertolongan pertama, maka dia wajib melakukannya, apapun hasil dari tindakan medis itu, namun jika dia hanya diam saja justeru akan terkena sangsi hukum. Soo In pun lolos dari sanksi akademik, jerat hukum malapraktik, dan tuntutan hukum selanjutnya dari korban. Tentu saja, pada akhirnya “Hukum Orang Samaritan yang baik” ini sangatlah membantu Soo In.
Prinsip Hukum ini telah lama dikenal, merupakan salah satu dasar pembenaran bagi orang yang memiliki intensi (termasuk relawan) untuk menolong orang lain yang cedera atau berada dalam kedaruratan untuk melakukan tindakan penyelamatan dengan segera, yang mana bertujuan untuk mengurangi keraguan bagi mereka ketika menolong dan menggeser ketakutan bahwa pertolongan atau tindakannya justru berakibat pada 'unintentional injury’atau 'wrongdoing'atau yang mungkin kita kenal sebagai “malapraktik kedokteran”.
Berbeda dengan di negara kita yang masih abu-abu mengawal prinsip hukum jenis ini, sistem hukum Amerika Serikat justru sangat mengakuinya sebagai prinsip legal dalam melakukan tindakan medis seperti yang dilakukan oleh Soo In lee itu. Sehingga di kita, tentu masih saja ditemui jerat hukum kepada para dokter, paramedis, dan bisa jadi ke awam terlatih (Tim SAR, PMI, BNPB, BPBD, Tagana, dll), yang tentu saja akan menimbulkan keragu-raguan bagi mereka untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan darurat medis. Kita tentu masing ingat kasus dokter Ayu dan kawan-kawan ketika menangani pasien di RSUP Prof Kandouw Malalayang Manado, dimana dari kasus ini menjadi pembelajaran paling penting dalam perkuliahan mahasiswa kedokteran, keperawatan, disaat belum bagusnya sistem manajemen rumah sakit pemerintah dan swasta, juga sistem kesehatan nasional di negara kita.
Sekedar memberi informasi bahwa istilah “good Samaritan” ini berasal dari kisah dalam kitab Injil, tepatnya di Injil Lukas, “Perumpamaan Orang Samaria Yang Murah Hati”, dimana seorang ahli hukum Taurat bertanya kepada Yesus apa artinya sesama manusia. Yesus menjawab dengan menceritakan perumpamaan seorang pria Yahudi yang bepergian dari Yerusalem menuju kota Yerikho dan mengalami perampokan dan pemukulan oleh para penyamun. Lelaki malang itu terkapar di jalan dan kemudian ada dua pejalan kaki Yahudi (seorang Imam = golongan Rohaniawan dan seorang Lewi = golongan kaya) yang melewatinya namun menghindar tanpa memberikan pertolongan. Tapi kemudian datanglah seorang pria asal Samaria (golongan bawah dalam strata sosial pada waktu itu) yang jatuh kasihan lalu mendekati, merawatnya, membebatkan lukanya, membawanya ke penginapan untuk dirawat lebih lanjut serta membayar seluruh biaya pengobatan, padahal ketika itu orang Yahudi sangat memusuhi dan membenci orang Samaria. Nah, cerita yang disampaikan Yesus ini tentu saja mengisyaratkan bahwa tindakan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan itu berlaku universal, ini gambaran cinta kasih yang tidak terbatas bahkan cinta kasih kepada orang yang membenci sekalipun. Dia terlepas dari sekat-sekat berbagai sinisme geografis, budaya, geneologis serta agama, dan boleh jadi itulah panggilan nurani manusia.
Ya, HUKUM dan KEDOKTERAN, dua subjek bernegara yang menempatkan manusia sebagai titik sentralnya yang keduanya berpadu, beriring pada isu-isu berhaluan kemanusiaan, dan tentu saja sepotong kisah penerapan “The Good Samaritan Law” dalam film Love Story in Harvard itu, semoga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana seharusnya manusia memandang manusia lainnya, dia menjadi inspirasi bagaimana menjunjung tinggi kemanusiaan tanpa pembatasan suku, ras, golongan, sentimen politik dan agama (SARA).
Saya kira, pesan utama dari film ini yaitu, pemikiran dan tindakan humanis sebenar-benarnya datang dari idealisme pribadi dan niat tulus untuk memuliakan sesama manusia, dan itu pun bagi saya pribadi, rasa-rasanya tetap menjadi pedoman kehidupan tuk menjalani, menerapkan, menjalankan profesi saya nanti, “officium nobile” dalam menangani suatu kasus untuk menyelamatkan ketidakadilan atau bahkan untuk memberi-menginspirasi pemahaman hakim ‘tuhannya manusia’, atau undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal nanti. Tabik!
Komentar
Posting Komentar