Mengejar Lumba-lumba di Teluk Kiluan

"Jukung", perahu bercadik yang kami naiki selama di teluk Kiluan (Foto: Bung Zamhar) 
“Teluk Kiluan”, mendengar nama teluk yang indah di Lampung bagian selatan ini, pikiran kita pasti langsung tertuju kepada Lumba-lumba.

Ya, sejak 2004, ia mulai dikenal sebagai salah satu destinasi wisata andalannya provinsi Lampung. Kiluan memang menawarkan wisata yang khas yaitu “mengejar lumba-lumba” dengan perahu nelayan tradisional “Jukung”, berbentuk ramping, panjang dan bermesin tempel kecil.

Adalah kami, para Advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dari Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, tanggal 15 hingga 17 Januari 2016 kemarin, mengunjungi Kiluan dan menikmati serunya mengejar lumba-lumba disana.

Perjalanan pun semakin menarik karena, dari Jakarta hingga desa Pekon Kilauan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tenggamus, tempat dimana teluk Kiluan itu berada, luapan canda tawa mengalir seiring benak tanda-tanya di masing-masing kami yang baru pertama kali berwisata di Kiluan.
Rombongan Advokat PERADI dari Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Barat (Foto: doc)
Setelah memastikan tanggal keberangkatan, siangnya di tanggal 15 kami berkumpul di belakang kampus I UNTAR Grogol. Menumpang grab car, dengan mulusnya kami menembus kemacetan jalan tol hingga tiba di bandara Soekarno-Hatta dan berkumpul bersama rekan-rekan lainnya seperti ketua rombongan Ibu Francisca Romana, Bapak Widiantara, Bapak Doly Siregar, Bapak Apolos Silitonga, Ibu Mira Sylvania dan Bapak Yans Zailani.

Canda dan tawa menyelingi perjalanan kami hingga tiba dini hari di desa Pekon Kilauan Negeri. “Joke-joke” segar selalu keluar bergantian dari mulut ke mulut dan akrab mesra di telinga kami. Maklum saja, semua bersepakat untuk bebas bersenda-gurau demi menyeimbangkan kesan tegang dan serius saat rutinitas sidang-sidang perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Tak hanya di mobil saat ke bandara, dalam pesawat Lion Air yang menerbangkan kami ke bandara Radin Inten II pun, riangnya canda dan tawa, hampir saja mengundang nona-nona pramugari Lion Air yang jelita itu untuk memberi peringatan.

Canda tawa masih tetap berlanjut dalam rombongan-rombongan kecil di mobil yang dipisah selama sekira enam jam perjalanan darat, atau sesekali hening saat iring-iringan mobil melewati ratusan desa-desa, belokan tajam, menaiki tanjakan, menerjang jalanan rusak, melihat jurang, atau pemandangan temaram malam dari atas bukit.

Ketika dini hari tetiba di desa Pekon, kami harus menunggu sekitar 30 menit hingga perahu-perahu jukung bercadik datang menjemput untuk menyeberangkan kami ke penginapan pantai di depan pulau Kiluan.

Sepuluh menit melewati laut, kami pun tiba di penginapan. Udara segar dini hari, cuaca cerah dengan langit bertabur bintang dan wajah bulan menuju sabit, suara ombak kecil yang kontras dengan suara satwa liar, serta suasana malam yang khas pedesaan menyambut hangat kedatangan kami. Rasa penat perjalanan pun lunas terbayar dengan nuansa alami seperti itu.
Menikmati indahnya panorama teluk Kiluan (Foto: Pak Widiantoro)
Usai pembagian kamar, beberapa diantara kami langsung tidur dan mendengkur. Tapi ketika kantuk belum mengajak mata saya untuk terpejam, Pak Widiantara menawarkan kopi hitam panas dengan penganan kue kering dan kacang yang dibawa dari Jakarta. Saya dan beberapa rekan seperti Bung Zamhar pun langsung terlibat diskusi kecil menyeruput kopi, dan diam-diam berencana menghabiskan penganannya. Padahal hanya tersisa dua jam lagi sebelum jam tujuh pagi diwajibkan kumpul untuk sarapan, dan lalu menaiki jukung-jukung bercadik-bermesin tempel untuk mengejar lumba-lumba.

30 menit berdiskusi, kami sepakat beranjak tidur menghabiskan waktu sejam lebih dan bangun tepat jam tujuh pagi. Usai sarapan, kami pun langsung menaiki jukung yang sudah ditentukan.
Tiap jukung diisi dua hingga empat orang penumpang dengan jaket pelampung masing-masing. Jukung yang saya tumpangi diisi empat orang termasuk sang pengemudi. Jukungnya kami pun melaju beriringan menuju selatan ke arah teluk yang agak luas, dan ternyata semakin ramai dengan iring-iringan jukung, karena selain rombongan kami, rombongan wisatawan-wisatawan lainnya pun ikut bergabung.
Jukung, perahu khusus untuk menikmati atraksi lumba-lumba di teluk Kiluan (Foto: Bung Anton) 
Sekitar 65 jukung ikut meramaikan pencarian Lumba-lumba kali itu. Berpencar-pencar, lalu menuju kearah teriakan keriangan para penumpang jukung yang kebetulan beruntung bertemu pertama kali dengan sekawanan lumba-lumba. Derunya suara mesin jukung yang berusaha cepat mendekati permainan akrobatik lumba-lumba, ditambah ributnya teriakan-teriakan: “itu lumba-lumbanya…”, “dimana…dimana…lumba-lumbanya??”, “disana-disana….”, “ayo kejar…”, “foto-foto…”, “rekam…rekam…”, “hoi….selfie…selfie…”, “itu..itu…mereka”, “awas tabrakan….!!!”, wow…..semakin menambah semaraknya ‘lomba berpacu’ mengejar lumba-lumba saat itu.

Mengejar lumba-lumba atau bisa berfoto dengan mereka (lumba-lumba) di jarak yang paling dekat, tentu jadi pengalaman tak terlupakan bagi yang baru pertama kali melihat lumba-lumba liar di alamnya.

Tontonan atraktif dari sang lumba-lumba yang lucu, gesit, lincah, dan genit di teluk Kiluan adalah tantangan tersendiri bagi yang menyenangi petualangan laut yang seru. Sebab bertemu dengan lumba-lumba secara langsung di habitatnya, tentu wajib mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, juga kekuatiran akan mabuk laut bagi yang belum terbiasa dengan irama ombak, atau terbakarnya kulit muka, tangan dan kaki bagi perempuan cantik akibat sinar mentari pagi yang kering dan mulai terik.
Lumba-lumba di teluk Kiluan (Foto: Bung Anton)
Tapi saya pikir, kenang-kenangan mengejar lumba-lumba di teluk Kiluan tentu akan jadi pelajaran hidup paling berharga, bagi mereka yang sedia memaknainya dalam kehidupan rutinitas kantoran di Jakarta. Bahwa ada saatnya kita perlu rihat sejenak meninggalkan ritme kesibukan untuk menyatu dengan alam, agar kita selalu ingat-menyadari adanya kemahakuasaan Ilahi.

Tak hanya mengejar lumba-lumba
Selain terkenal karena atraksi alami lumba-lumbanya, teluk Kiluan juga berpotensi sebagai tempat wisata pemancingan ikan. Pulau-pulau karang disekitarnya tentu jadi tempat berkembang-biaknya ikan-ikan pelagis dan demersal, yang sudah pasti jika dikembangkan sebagai tempat wisata pemancingan akan menambah lagi ke khasan tujuan berwisata di teluk Kiluan.
Mandi di Laguna teluk Kiluan (Foto: Pak Widiantara) 
Usai mengejar lumba-lumba dan mandi di laguna, di sorenya, kami dengan tiga jukung mencoba memancing di salah satu spot pemancingan depan pulau kecil. Pengalaman kami meski dengan umpan kail seadanya, saya berhasil mengail beberapa ikan-ikan, begitu pun rekan-rekan saya. Lumayan untuk dijadikan gorengan lauk oleh rekan-rekan saat mengisi acara di malam keakraban.

Di Kiluan juga, dapat dijumpai penangkaran Penyu Sisik yang langka dan terancam punah. Pantai-pantai di teluk Kiluan dengan pasir putih memang menjadi kawasan yang pas bagi penyu-penyu untuk bertelur. Disana, kita pun akan disuguhi keindahan alam yang asri, masih alami dan sudah pasti eksotis, ditambah hamparan pasir putih di pantai dengan air lautnya nan biru bening, jadi padanan yang sangat cocok untuk memanjakan mata atau merilekskan jasmani kita yang terlalu dibuat saking sibuknya dengan rutinitas.
Bermain bola kaki plastik di pasir pantai, asik..berguling-guling (Foto: Pak Widiantara)
Apalagi masih ada puluhan pulau-pulau kosong, sepi, sangat cocok untuk menyepi, atau ber-selfie, groufie, atau dronie, bermain bola kaki plastik, berendam di air laut teluk yang tenang, atau berenang manja di laguna-laguna karang koral mirip kolam-kolam permandian, juga bisa beruntung menikmati fenomena mentari senja “sunset” dan fajar menyingsing “sunrise” terbaik.


Ya, teluk Kiluan memang sangatlah cocok untuk berwisata bahari, namun untuk menghindari agar tidak keletihan, disarankan petualangannya dilakukan selama tiga atau empat hari. Dan terakhir, sayang sekali, sikap pelaku pariwisata dan fasilitasnya belum sepenuhnya belajar seperti bagaimana tuan rumah di pulau Bali melakoni dan membenahi pariwisatanya dengan sangat baik. Berharap di kedatangan kami berikutnya, pelayanan disana menjadi seperti dambaan wisatawan pada umumnya.
Groufie bersama sebelum balik ke Jakarta (Foto: doc)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Jangan Pernah Melupakan Aku” di Kota Bogor

MERDEKA!, Sebagai Salam Nasional dan Pekik Perjuangan Kita

Mengenang Jean Henry Dunant