Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

MERDEKA!, Sebagai Salam Nasional dan Pekik Perjuangan Kita

Gambar
Penetapan pekik MERDEKA! sebagai "Salam Nasional" dan "Pekik Perjuangan" Bangsa Indonesia itu diputuskan melalui Maklumat Pemerintah RI tanggal 31 Agustus 1945, dan secara resmi berlaku sejak 1 September 1945. Di dalam Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 itu dijelaskan tentang tata-cara pengucapan salam nasional MERDEKA! Namun, untuk lebih jelasnya, Anda juga bisa memperagakan salam nasional ini, sebagai berik ut: “………. Tangan kanan (lima jari dirapatkan terbuka keatas) naik setinggi telinga # LimaJari  rapat terbuka, apakah artinya itu? Negara kita telah bersatu dan MERDEKA # Lalu  teriakkan suaramu "mengguntur" mengucapkan salam nasional kita: MERDEKA! Artinya, kita siap sedia mempertahankannya walau dengan jalan yang (perngorbanan jiwa dan raga) bagaimanapun juga, MERDEKA! ……….” Adalah Bung Karno, Soekarno, Ir. Soekarno, Presiden pertama kita yang membumikan pekik MERDEKA ini. Bung Karno menjadikannya sebagai senjata untuk menggembleng r

Mengenang Jean Henry Dunant

Gambar
Jean Henry Dunant, Pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Foto: Istimewa) Andai tak pernah ada pertempuran mengerikan di Solferino tanggal 24 Juni 1859 dan buku "Un Souvenir de Solferino" atau “a Memory of Solferino atau “Kenangan dari Solferino”, tentu catatan sejarah bantuan kemanusiaan modern dan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia "Palang Merah dan Bulan Sabit Merah" mungkin akan berkata lain. Ya di Solferino, sebuah pedesaan (waktu itu) di Italia bagian utara, gabungan balatentara Perancis dan Sardinia bertempur melawan pasukan Austria. Pada petang harinya, hampir 40.000 prajurit tergeletak tewas atau terluka tanpa perawatan. Dinas kesehatan militer kedua pihak pun kewalahan dan mereka tak punya perlindungan khusus. Jean Henry Dunant, seorang pengusaha dan warga negara Swiss, tiba di Solferino pada malam tanggal 24 Juni 1859 disaat pertempuran dahsyat itu telah terjadi. Melihat puluhan ribu tentara mati dan terluk

Mengejar Lumba-lumba di Teluk Kiluan

Gambar
"Jukung", perahu bercadik yang kami naiki selama di teluk Kiluan (Foto: Bung Zamhar)  “Teluk Kiluan”, mendengar nama teluk yang indah di Lampung bagian selatan ini, pikiran kita pasti langsung tertuju kepada Lumba-lumba. Ya, sejak 2004, ia mulai dikenal sebagai salah satu destinasi wisata andalannya provinsi Lampung. Kiluan memang menawarkan wisata yang khas yaitu “mengejar lumba-lumba” dengan perahu nelayan tradisional “Jukung”, berbentuk ramping, panjang dan bermesin tempel kecil. Adalah kami, para Advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dari Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, tanggal 15 hingga 17 Januari 2016 kemarin, mengunjungi Kiluan dan menikmati serunya mengejar lumba-lumba disana. Perjalanan pun semakin menarik karena, dari Jakarta hingga desa Pekon Kilauan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tenggamus, tempat dimana teluk Kiluan itu berada, luapan canda tawa mengalir seiring benak tanda-tanya di masing-masing

Impian (Menjadi) Negara Maritim

Gambar
Impian (Menjadi) Negara Maritim Foto Nelayan Tradisional di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Irwan Lalegit) “…Tiba-tiba ku tertegun, lubuk hatiku tersentuh, Perahu kecil terayun, nelayan tua di sana, Tiga malam bulan tlah menghilang, Langit sepi walau tak bermega…” Penggalan lirik lagu “Burung Camar” yang dipopulerkan Vina Panduwinata (diva pop musik) diatas mengambarkan betapa kerasnya kehidupan nelayan Indonesia, dan menyadarkan kita bahwa laut Indonesia yang maha luas dan kaya potensi itu, tentu menjadi tantangan terberat bagi para nelayan yang selama ini (tujuh puluh tahun merdeka) terus dibiarkan kalah bersaing dengan nelayan negara tetangga di kawasan ASEAN-Pasifik dalam penguasaan laut, pengelolaan kekayaan sektor kelautan dan perikanan. Berlawanan dengan nelayan kita yang kebanyakan mungkin nasibnya miskin dan tradisional, mereka (nelayan negara tetangga) dilengkapi armada tangkap ikan terbaik, sarana-prasarana pendukung yang berkualitas minim korupsi, kemu